Gadis yang Kutunggu di Bawah Pohon Kersen

Tidak mungkin dia tidak datang! Iwan mulai gelisah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Kakinya menyaruk-nyaruk kerikil dibawah sandalnya. Ia ambil beberapa butir lalu ia lempar-lempar dengan malas ke arah jalan.

Lima orang gadis sudah melintas di hadapannya sejak ia mulai menunggu. Dua orang berboncengan menuju ke Utara. Dari pakaiannya, tampaknya mereka hendak mengaji ke ustad terkenal di kampung sebelah. Tiga orang lagi lewat dua puluh menit kemudian kearah yang berlawanan. Mengendarai sepeda masing-masing, mereka mengenakan seragam SMA yang kelihatan masih cukup baru. Iwan tahu gadis-gadis itu, walau tak kenal betul. Mira, Ajeng, dan Winda. Mereka kakak kelasnya di SMP yang baru lulus beberapa bulan lalu. Sepertinya mereka baru pulang dari kegiatan ekstrakurikuler. Ah, pasti menyenangkan jadi anak SMA.

Tetapi dari tadi gadis yang ia tunggu malah belum juga tampak batang hidungnya. Sambil mengelus-elus janggutnya yang mulai ditumbuhi empat helai rambut, Iwan mengingat-ingat lagi isi surat yang ditulisnya. Sebuah puisi singkat pada halaman pertama (judulnya “Senyum Paling Manis Sedunia”), lalu sebuah ajakan bertemu pada halaman berikutnya. Rasanya ia pun sudah menuliskan dengan cukup jelas: “Jika tidak ada acara sepulang sekolah, mari kita bertemu pukul 2 siang nanti dibawah pohon kersen di tepi jalan antardesa. Aku ingin mengajakmu ke tempat yang menarik!”

Ia selipkan surat tersebut dengan cepat pada tangan si gadis saat mereka berpapasan di gerbang sekolah pagi tadi. Waktu istirahat, si gadis menghampirinya di kelas. Sambil agak menunduk tersipu, si gadis bergerak canggung diantara bangku-bangku menuju tempat Iwan duduk di deretan tengah. Tangannya yang lentik dengan gesit meletakkan secarik kertas pada meja di hadapannya. Si gadis yang malu lalu pergi terburu-buru, tetapi ia sempat berhenti di ambang pintu untuk sejenak mengerling dan melayangkan senyum sekilas. Senyum paling manis sedunia!

Demi melihat senyum bidadari itu perut Iwan langsung bergolak bagaikan pusaran ombak di lautan yang tengah badai. Ditambah lagi jantungnya berdentum-dentum ingin meledak saat ia membuka kertas kecil tadi dan mulai membaca pesan yang dituliskan si gadis: Sampai ketemu nanti siang…

* * * * * * * * * * * * * * *

Tetapi mereka belum juga bertemu lagi. Padahal ia yakin si gadis tidak akan sampai tersesat. Tidak ada lagi pohon kersen di sepanjang jalan antardesa selain yang jadi tempat Iwan menanti saat ini. Memang ada beberapa trembesi, sonokembang, turi, mangga, tapi yang kersen ya cuma satu ini. Satu-satunya pula pohon yang terdapat bangku dibawahnya, entah siapa yang menaruh pertama kali.

Dengan resah Iwan merogoh kantongnya dan mengeluarkan jam tangan yang ia pinjam dari Bapaknya −tidak ia kenakan sebab terlalu besar untuk ukuran pergelangannya. Pukul 14:27. Untungnya cuaca siang itu tidak begitu terik. Langit agak berawan, meski tak sampai mendung tebal. Ia berhenti melontarkan kerikil dan mulai mendongak, mencari-cari buah kersen yang telah merah. Huh, di dahan-dahan yang rendah tinggal tersisa yang hijau dan mentah, yang merah terlalu tinggi di atas. Pasti sudah habis dibabat duluan oleh bocah-bocah kampung. Iwan tentu saja tidak sedang dalam suasana hati ingin memanjat hanya demi beberapa butir kersen, ia pun kembali menatap kosong ke jalanan.

Sekarang ia mulai menyesal, mengapa tak ia jemput saja tadi si gadis di rumahnya. Pastilah ia tak sampai harus senewen karena menunggu begini. Namun ia ingat lagi alasannya memilih bertemu di tempat yang agak jauh dari kampung begini: ia tak cukup bernyali kalau sampai harus menghadapi orang tua si gadis. Ia keder duluan dengan kemungkinan bertemu dengan bapak atau ibunya si gadis, lantas ditanyai macam-macam. Mau kau bawa kemana dia? Dan siapa pula kau berani-beraninya mengajak pergi putriku?

Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan, saya hendak mengajak putri Bapak menikmati matahari terbenam di bantaran sungai di ujung desa. Saya akan bacakan satu lagi puisi yang saya tulis khusus untuknya, dan ia akan mendengarkan sambil memakan kue Putu Ayu yang saya bawakan sebelumnya −ya, saya tahu itu kue kesukaannya. Lalu kami akan bercerita ngalor-ngidul tentang apapun. Atau barangkali kami hanya akan saling pandang saja karena malu. Tapi diakhir perjumpaan, akan saya petikkan baginya bunga liar yang tumbuh di tepi sungai. Sebab begitulah ia dimata saya, tidak mentereng atau mewah, tetapi justru memikat karena kesederhanaan, kerendahhatiannya. Ah, bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan itu semua? Apalagi diam-diam ia juga menyimpan sebuah rahasia, yaitu secuil harapan bahwa si gadis mungkin akan memberinya sebuah kecupan di pipi usai perjumpaan ini.

Pukul 15:12. Kepalanya agak terasa berdenyut-denyut. Selalu begitu tiap kali ia merasa cemas atau panik. Ia kembali memunguti kerikil.

Ah, sekilas pandangan Iwan tertumbuk pada sebuah kerikil yang terlihat menarik. Warnanya hitam legam dan tepiannya halus. Ia tak melihatnya sebelumnya karena tertutup oleh selembar daun kering. Baru saja Iwan merunduk hendak meraihnya, setetes gerimis tiba-tiba saja jatuh mengenai kulitnya. Sial! Tanpa pemberitahuan, mendung tebal tahu-tahu sudah bertengger di atas sana. Dan dalam waktu kurang dari dua menit, hujan deras sudah mengguyur seperti air bah yang ditumpahkan dari langit.

* * * * * * * * * * * * * * *

“Dia tidak masuk sekolah, sudah tiga hari ini.”

Iwan tidak tahan juga akhirnya. Ia menghabiskan dua hari kemarin dalam bayang-bayang kesedihan karena si gadis yang ia tunggu tidak muncul. Ia mulai berpikir, jangan-jangan si gadis memang tidak suka padanya sejak awal, dan senyum itu, balasan itu, hanyalah olok-olok saja untuk mempermainkannya. Uh, dadanya terasa nyeri hanya memikirkannya. Ia pun habis-habisan berusaha menghindari si gadis. Area sekitar kelas si gadis adalah daerah terlarang untuknya. Ia mulai tiba paling pagi di sekolah, lalu langsung masuk kelas dan tidak keluar lagi hingga jam pelajaran usai. Setelah bel pulang berbunyi, Iwan yang sudah lebih dulu mengemasi barangnya pun jadi yang pertama merangsek ke tempat parkir sepeda, lantas mengayuhnya lekas-lekas sampai rumah untuk kemudian mengurung diri seharian. Ia tak ingin lagi melihat wajah si gadis! Ibunya tak urung jadi bertanya-tanya, mengapa anaknya yang biasanya paling doyan keluyuran tiba-tiba jadi betah di rumah. Dan ia hanya menyahut dari balik pintu kamarnya, “Aku ingin fokus belajar untuk ujian.”

Tetapi dalam waktu dua hari saja ia menyerah.

Ia mulai mempertimbangkan adanya kemungkinan-kemungkinan lain. Bisa saja si gadis sudah ingin berangkat, tapi malah diminta orang tuanya membantu pekerjaan di rumah. Iwan tahu si gadis ini yang anak yang sungguh patuh dan tak akan menolak permintaan tersebut. Ah, alasan itu terdengar cukup masuk akal dan jauh lebih meringankan hatinya. Yang jelas, ia perlu verifikasi. Sayangnya, saat Iwan melongok ke dalam kelas si gadis dari ambang pintu, ia tetap tidak menemukan orang yang dicarinya. Nunik, teman sekelas si gadislah yang memberitahu Iwan bahwa ia sudah absen berhari-hari. Tidak ada yang tahu alasannya.

Siang itu, Iwan pulang dengan menuntun sepedanya, meskipun bannya tidak bocor dan rantainya tidak putus. Ia hanya ingin punya waktu sedikit lebih lama untuk mempersiapkan mentalnya. Ia sudah memutuskan, ia akan bertandang ke rumah si gadis. Ia butuh keterangan berikut kejelasan. Ia pun menggiring sepedanya ke arah Barat menuju dusun tempat si gadis tinggal, walaupun rumahnya sendiri berada di arah yang berlawanan. Tetapi dalam jarak dua ratus meter dari rumah si gadis, Iwan berhenti. Mentalnya memang belum sepenuhnya terkumpul, tapi ada hal lain yang lebih mengusiknya. Dari kejauhan ia melihat sekitaran rumah si gadis dipenuhi kerumunan orang. Dari yang tersirat pada raut wajah mereka, orang-orang tersebut jelas tidak datang untuk menengok bayi yang baru lahir atau bocah yang baru pulang dari mantri sunat. Perasaan tak enak hati seketika menyergap dirinya, kepalanya samar-samar berdenyut. Ia merasa ada ketegangan yang menguar dan tertahan di udara. Diam-diam ia mendekati beberapa ibu-ibu yang sedang mengobrol untuk mengorek lebih banyak informasi.

“Kasihan sekali ya, Mbakyu. Padahal anaknya pendiam dan ndak pernah aneh-aneh juga.”

“Yah namanya nasib siapa yang tahu. Katanya waktu mayatnya ditemukan pakaian seragamnya sudah compang-camping ya, Bu?”

“Iya, saya sempat dengar tadi ada Pak Polisi yang bilang kalau dia diperkosa dulu, lalu dicekik sampai meninggal. Katanya lagi, pelakunya paling tidak lima orang.”

“Astaghfirullah… Oalah, Nduk, Nduk. Mesakke tenan nasibmu. Isih enom kok yo wis diceluk Gusti Pangeran, gek koyo ngene carane.”1

Seketika kepala Iwan disergap oleh nyeri, jauh lebih sakit dari yang pernah ia rasakan selama ini… (*)

Keterangan:

1 “Astaghfirullah… Oalah, Nak, Nak. Kasihan sekali nasibmu. Masih muda kok sudah dipanggil Yang Kuasa, dengan cara begini pula.”


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *